Kamis, 25 Juni 2009

1.a. Nama Dosen : DR.IR.H. ROIKHAN.MA, MM
b. Nama Mahasiswa : Meta Siagian
Email : rolinasiagian@gmail.com
HP :
c.

Abstrak
Saat ini peran wanita telah mengalami banyak perubahan. Wanita memiliki hak sebagai individu untuk mengembangkan dan mewujudkan kepribadiannya. Wanita memiliki 3 (tiga) peran ganda baik sebagai ibu rumah tangga, sebagai pekerja di luar rumah, dan sebagai anggota masyarakat/komunitas di mana ia tinggal. ‘Wanita pekerja’ di sektor pertanian cenderung merupakan masyarakat marginal yang perlu menjadi perhatian untuk dientaskan ke tingkat yang lebih baik.

A. Pendahuluan
Wanita, baik ia telah berumah tangga atau belum berumah tangga, memiliki hak sebagai individu untuk mengembangkan dan mewujudkan kepribadiannya dan tidak perlu dan harus tenggelam atau membatasi diri dalam pengabdiannya hanya terhadap suami dan anak-anaknya.
Dalam kaitannya dengan dunia kerja, pendekatan yang dilakukan dalam Teori Feminis Liberal, memfokuskan pada masuknya wanita ke dalam pasar kerja. Teori ini tidak menempatkan wanita di dalam keluarga sebagai isu ekonomi, tetapi terpusat pada perubahan-perubahan peran jenis kelamin yang mengarah pada perkembangan sifar-sifat keluarga dari struktur patriarkis ke struktur keluarga egalitarian atau demokratik (Ollenburger, 1996).
Penghapusan pembagian kerja secara seksual merupakan hasil yang dicapai oleh kaum feminis pada saat ini. Sebagai akibat, kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi di dalam masyarakat, dengan tidak mengubah struktur yang berlawanan dengan kesejahteraan keluarga, terbuka lebar. Secara tersurat, GBHN 1993, kaum wanita bersama-sama dengan pria berperan sama dalam memberikan sumbangan bagi pembangunan. Dengan demikian, tampak adanya pengakuan terhadap nilai ekonomi kerja wanita yang dibayar ataupun yang tidak dibayar.
Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini tidak pernah terlepas dari pembangunan yang melibatkan wanita yang terlihat dari tingkat partisispasi angkatan kerjanya dan semakin banyaknya wanita yang memasuki pasar kerja. Namun demikian tingkat produktivitas kerja wanita masih rendah disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan wanita.
Rendahnya tingkat pendidikan wanita di negara berkembang, sebagai akibat struktur ekonomi dan norma-norma masyarakat yang menghalangi keluarga untuk menginvestasikan sumberdaya keluarga bagi pendidikan anak wanita (Nasikun dalam Farida, 1999). Hal senada diungkapkan pula Sajogyo (1976) yang menyebutkan masih banyaknya pandangan yang menyatakan bahwa wanita tidak perlu pendidikan yang tinggi untuk menunaikan tugasnya.
Tulisan ini mencoba membahas tentang ‘Wanita Pekerja di Sektor Pertanian’ terutama yang berkaitan dengan motivasi, alokasi waktu, dan statusnya dalam rumah tangga, pekerjaan, dan masyarakatnya. Alasan penulis membahas masalah ini berkaitan dengan peran ganda wanita baik sebagai ibu rumah tangga, sebagai pekerja di luar rumah, dan sebagai anggota masyarakat/komunitas di mana ia tinggal. Selain itu, adanya indikasi kuat yang menyebutkan bahwa, ‘wanita pekerja’ di sektor pertanian cenderung merupakan masyarakat marginal yang perlu menjadi perhatian untuk dientaskan ke tingkat yang lebih baik.
Pembahasan diawali dengan mengetengahkan pembagian kerja secara seksual, peran wanita, profil tenaga kerja wanita di Indonesia. Selanjutnya dilakukan pendalaman terhadap tenaga kerja wanita di sektor pertanian dalam motivasi dan status pekerjaannya, alokasi waktu dan penghasilannya, dan peran mereka di masyarakat.

B. Pembagian Kerja Secara Seksual
Pembagian kerja secara seksual adalah pembagian kerja yang didasarkan atas jenis kelamin. Teori Neo-klasik, menekankan keberadaan variabel-variabel produktivitas kerja seperti tanggung jawab rumah tangga, kekuatan fisik, pendidikan, latihan, jam kerja, kehadiran dan kelangsungan kerja, menyebabkan terjadinya pembagian kerja secara seksual.
Dalam kaitannya dengan mengapa upah pekerja wanita lebih rendah daripada pria adalah didasarkan pada asumsi dasar sebagai berikut:
a) Pekerja memperoleh upah sebesar marginal produk yang dihasilkan.
b) Keluarga mengalokasikan sumberdaya mereka (berupa uang atau dan atau waktu) dengan cara yang rasional, yang mengakibatkan anggota keluarga wanita memperoleh alokasi yang lebih sedikit dibanding anggota keluarga pria.
Berdasarkan teori Gender menyebutkan bahwa keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai pria atau wanita memperoleh perincian sosial sebagai pria atau wanita melalui atribut-atribut maskulinitas atau femininitas yang sering didukung oleh sistem nilai atau simbol masyarakat yang bersangkutan. Sebagai akibat, perbedaan perilaku antara wanita dan pria tidaklah sekedar biologi saja tetapi melalui proses sosial dan kultural. Kesadaran akan perbedaan maskulinitas dan feminitas ini secara tidak sadar membentuk adanya pembagian kerja secara seksual.
Kenyataan yang ada ini menyebabkan kalangan wanita yang berpendidikan tinggi memperjuangkan kesamaan hak mereka sebagai wanita sesuai dengan pria (gerakan femininisme). Gaung yang ada adalah Equal Pay Act di Inggris, UU No. 7 di Indonesia yang menyatakan tidak adanya diskriminasi selain itu juga meratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Wanita.

C. Peran Wanita
Perubahan sosial dalam masyarakat terjadi begitu cepat, namun adaptasinya masih mengalami hambatan. Di satu sisi, ikatan sosial baru belum terinternalisasi, di sisi lain wajah kehidupan lama mulai ditinggalkan. Demikian juga dengan peran wanita.
Peran wanita dalam era globalisasi sangat menonjol terutama dalam kehidupan jaringan kerja. Peranan wanita secara potensial dapat dilihat sebagai pelaku perubahan yang bisa ditemui di semua kelompok, antara lain dalam kelompok elit, kelompok cendekiawan, kelompok pekerja, kelompok keagamaan dan para pelaku ekonomi.
Sebagai individu, wanita memiliki harapan-harapan, kebutuhan-kebutuhan, minat-minat, dan juga potensinya sendiri. Dalam pandangan psikologi humanistik yang menekankan nilai positif manusia, wanita juga membutuhkan aktualisasi diri yang seoptimal mungkin demi pengembangan dirinya yang pada gilirannya membawa dampak positif pada pengembangan umat manusia secara umum mengingat lebih dari separuh jumlah anggota masyarakat adalah wanita.
Salah satu bentuk aktualisasi diri bagi wanita adalah dengan bekerja, selain ikut dalam berbagai kegiatan yang ada di masyarakatnya. Namun apapun alasan isteri atau wanita untuk bekerja dengan sendirinya mempunyai dampak terhadap suami, anak-anak dan keluarga, sehingga Moser (1995) menyampaikan keberadaan peran wanita dalam triple role seperti berikut ini.
Dalam kebanyakan rumah tangga yang berpenghasilan rendah, pekerjaan perempuan tidak hanya terdiri dari kegiatan reproduksi (melahirkan anak), tetapi juga kegiatan produktif yang sering menjadi sumber penghasilan kedua. Kerja perempuan di daerah pedesaan biasanya dalam bentuk kerja pertanian sementara di daerah perkotaan perempuan sering bekerja di sektor informal yang berlokasi di dalam rumah atau sekitar tempat tinggal mereka. Selain itu perempuan juga terlibat dalam pengelolaan kegiatan komunitas yang berlangsung di daerah pemukimannya.
Perbedaan peran antara pria dan wanita membawa implikasi yang berbeda bagi para pembuat kebijakan disebabkan peran rangkap tiga wanita kadang kala tidak diakui. Akibatnya tantangan berat yang dihadapi kaum wanita untuk dapat berperan sebagaimana mestinya terkendala pada pola sikap hanya kerja produktif wanita yang diakui sebagai kerja. Sedangkan kerja-kerja reproduktif dan aktivitas di masyarakat sekitar bukan sebagai kerja tetapi sifatnya alamiah.
Di sektor pertanian, baik di Afrika ataupun Asia, kaum wanita menerima beban kerja yang berat. Beban tersebut bercampur dengan tanggung jawab mereka dalam pekerjaan rumah, mempersiapkan makanan dan menjaga anak-anak, yang masing-masing mempunyai arti yang berbeda dengan kebiasaan negara maju (Todaro, 1994).

D. Profil Tenaga Kerja Wanita Indonesia
Berdasarkan tingkat pendidikaannya persentase penduduk wanita di Indonesia pada saat ini adalah 11,9% tidak sekolah, 23% tidak tamat SD, 33,3% berpendidikan SD, 15 % berpendidikan SLTP, dan 16,9% tamat SLTA+ (BPS, 2001). Sebagian besar tenaga kerja tersebut adalah kaum wanita yang bekerja di sektor informal dengan kondisi pendidikan dan keterampilannya yang rendah.
Berdasarkan data statistik, dilihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja reitnya meningkat dari 44,4% pada tahun 1990, menjadi 44,77% pada tahun 1992, dan 48,9 % pada tahun 1995. Bila dilihat berdasarkan status pekerjaannya, persentase wanita yang bekerja sebagai pekerja lebih besar daripada pekerja laki-laki. Namun, jika dibandingkan status wanita yang bekerja sebagai karyawan atau yang lainnya, proporsi pekerja pria lebih tinggi daripada pekerja wanita, demikian pula wanita yang menjadi pengusaha relatif kecil dibandingkan dengan pengusaha pria. Tabel berikut memperlihatkan persentase pekerja pria dan wanita dilihat dari status pekerjaannya.

Tabel 1. Persentase Pekerja Pria dan Wanita Dilihat dari Status Pekerjaan, Tahun 1985, 1987,1989, dan 1990.

Status Pekerjaan
1985
1987
1989
1990
Pria
(%)
Wanita (%)
Pria
(%)
Wanita (%)
Pria
(%)
Wanita (%)
Pria
(%)
Wanita (%)
Mandiri
24,04
18,04
21,65
16,85
21,56
16,59
21,64
16,60
Mandiri dibantu klg.
29,55
11,45
30,81
11,68
20,28
13,02
30,51
12,82
Pengusaha
0,85
0,33
0,81
0,35
0,91
0,33
1,06
0,84
Karyawan
29,62
14,73
30,47
20,58
30,60
21,44
31,13
22,51
Pekerja Keluarga
15,79
49,87
16,26
50,53
16,65
48,62
15,66
47,73
Total
60,52
39,12
80,32
39,68
60,07
39,93
61,12
38,88
Sumber: BPS, 1990



E. Pekerja Wanita di Sektor Pertanian

Pada mulanya sedikit sekali ‘wanita bekerja’ kecuali mereka terdorong karena kemiskinan, namun sekarang lebih banyak yang bekerja untuk menambah kebutuhan hidup keluarga atau karena ingin bekerja untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri. Kondisi sosial ekonomi yang kurang menguntungkan mengakibatkan wanita tergugah untuk turut bertanggung jawab atas kelanjutan hidup keluarga dan kemudian mereka berkerja.
Terdapat anggapan bahwa kaum pria adalah pencari nafkah keluarga, sehingga wanita yang bekerja hanya dianggap membantu suami, atau pekerjaan wanita tersebut dianggap sebagai sambilan. Namun demikian peran wanita semakin nyata dalam kerja produktif, di samping alokasi ekonomi yang diberikan kepada keluarga. Munandar (1985) menyebutkan bahwa motivasi kaum wanita ingin bekerja adalah sebagai berikut:
1) Untuk menambah penghasilan keluarga.
2) Untuk secara ekonomis tidak bergantung kepada suami.
3) Untuk menghindari rasa bosan atau mengisi waktu luang.
4) Karena kegagalan perkawinan.
5) Karena mempunyai minat dan keahlian tertentu yang ingin dimanfaatkan.
6) Untuk memperoleh status.
7) Untuk mengembangkan diri.
Dengan berbagai motivasi tersebut di atas, maka kebutuhan strategis ataupun kebutuhan praktis kaum wanita sebenarnya dapat dipenuhi, sehingga dapat tercapai kemandirian wanita dalam mencari nafkah.
Todaro (1994) memberikan suatu generalisasi tentang penduduk miskin negara berkembang adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah pedesaan dan mereka memiliki kegiatan di bidang pertanian dan kegiatan lain yang berhubungan dengan itu. Generalisasi lainnya menyatakan bahwa, kemiskinan mempengaruhi sejumlah besar kaum wanita.
Kemiskinan adalah beban yang berat bagi kaum wanita, karena peran ganda mereka dalam keluarga. Wanita sering bekerja di dalam dan di luar rumah. Di rumah, mereka pada umumnya bertanggungjawab atas pekerjaan rumah, menyediakan makanan dan menjaga anak. Bagi wanita miskin ‘produk rumah tangga’ termasuk pekerja berat seperti memungut kayu bakar dan mengangkut air, menyiangi rumput, menanam bibit dan memanen hasil kebun di tanah keluarga. Wanita miskin cenderung pula untuk mempunyai banyak anak, yang tentunya akan menambah pekerjaan rumah mereka.
Di luar rumah mereka bekerja di sektor informal dan pertanian yang pekerjaannya berat, jam kerja panjang dan upah rendah. Banyak kaum wanita yang ingin mempertahankan kehidupan keluarga mereka di lapangan kerja berteknologi rendah, tanpa modal dan berupah marjinal. Sedangkan yang lainnya mencoba menambah kekurangan upah suami mereka. Hal senada dinyatakan oleh Farida (1999) bahwa, wanita turut serta bekerja mencari nafkah disebabkan kebutuhan keluarga yang semakin lama semakin mendesak dan tidak dapat dipenuhi oleh suami.
Keberadaan status sosial isteri yang bekerja di dalam keluarga kadang kala menjadi pembenar bagi pembagian kerja di rumah, misal siapa yang mengasuh dan mendidik anak, siapa yang tampil di atau berbagai kegiatan masyarakat. Kenyataan di lapangan memperlihatkan ‘wanita pekerja’ di sektor pertanian relatif luwes dan fleksibel berkaitan dengan aspek pembagian kerja di dalam keluarga. Sebaliknya para suami malah mendukung dalam bentuk pengertian dan pengasuhan anak atau mengantar anak sekolah.
Hasil penting dari penelitian Farida terhadap ‘wanita pekerja’ di perkampungan nelayan Muara Angke adalah, peran ganda yang disandang oleh isteri nelayan masih tetap ada. Hanya saja mereka lebih memiliki kebebasan dalam pengambilan sikap untuk alokasi waktu di rumah, bekerja dan bermasyarakat sekalipun melalui pembicaraan dengan suaminya terlebih dahulu.
Dalam kaitannya dengan motivasi bekerja, para isteri di perkampungan nelayan lebih banyak karena keinginan sendiri dan didukung oleh suaminya. Semua responden motivasinya adalah untuk menambah penghasilan, menghindari rasa bosan atau mengisi waktu luang, ingin mandiri dan tidak tergantung suami dan berniat mengembangkan diri. Hasil penelitian Finegan dalam McConnel & Brue, 1995) salah satu motivasi bekerja di kalangan wanita di Amerika Serikat disebabkan keinginan untuk tetap hidup layak, disebabkan suami termasuk kategori low income.
Berkaitan dengan alokasi waktu yang dilakukan ‘wanita pekerja’ di sektor pertanian, hasil penelitian Suprihatin (1986) terhadap masyarakat desa Cikarawang dan Babakan, yang masing-masing mewakili desa di pedesaan dan perkotaan menyatakan bahwa, para isteri 15,2% waktu dialokasikan untuk mencari nafkah, dan 49,9% dialokasikan untuk mengurus rumah tangga untuk desa Cikarawang dan 67,1% untuk desa Babakan. Sedangkan waktu luang lebih banyak di desa Cikarawang (34,9%) dibandingkan dengan desa Babakan (19,7%).
Selanjutnya dijelaskan oleh Suprihatin, di Babakan banyak pekerjaan yang dapat dilakukan oleh suami isteri, misalnya berdagang (toko, warung, restoran serta sewa-menyewa pondokan). Sebaliknya di Cikarawang pekerjaan isteri hanya sebatas pada usahatani sehingga bila tidak ada kegiatan usaha tani, praktis mereka tidak bekerja. Sedangkan para suami yang ada di Babakan tampak memahami keberadaan isterinya sehingga membantu mereka untuk turut mengurus rumah tangga, misalnya mendidik anak untuk urusan sekolah dan keagamaan. Hal ini ditunjang oleh lebih tingginya pendidikan suami dibandingkan isteri. Hal yang sebaliknya, di Cikarawang, baik suami ataupun isteri tidak pernah memberikan bimbingan belajar untuk urusan sekolah, sementara untuk keagamaan mereka mengajak anak mereka ke Surau di mana pengajarnya adalah orang tua mereka sendiri. Bila dilihat secara keseluruhan, di Cikarawang alokasi waktu isteri untuk bekerja relatif lebih besar daripada waktu yang dialokasikan suami untuk bekerja.
Hasil penelitian Farida (1999) terhadap wanita di perkampungan nelayan Muara Angke, alokasi waktu yang biasanya dilakukan para isteri adalah sebagai berikut: a) Alokasi waktu untuk mengurus rumah adalah sejak subuh sampai jam 10.00; b) Pergi ke Tempat Pelelangan Ikan dari jam 10.00 – 13.00; c) Dari jam 13.00 – 18.00 digunakan mereka untuk turut mengolah ikan dan masih diselingi dengan pekerjaan rumah tangga lebih kurang satu jam; d) Jika malam hari digunakan untuk bekerja juga dilakukan mulai jam 19.00-21.00.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya alokasi waktu para wanita yang bekerja di sektor pertanian menurut Suprihatin (1986) adalah sebagai berikut: a) Imbalan kerja di pasar tenaga kerja bagi suami; b) Imbalan kerja di pasar tenaga kerja bagi isteri; c) Pengeluaran rumah tangga; d) Jumlah anak; e) Umur anak terkecil; f) Umur suami dan umur isteri
Selain itu disimpulkan juga oleh Suprihatin, bahwa alokasi waktu yang disediakan suami di kedua desa penelitian untuk mencari nafkah lebih besar daripada isteri, namun jumlah jam kerja isteri cenderung lebih tinggi terutama di desa pedesaan. Di desa bercirikan kota, ternyata, respons upah terhadap alokasi waktu ternyata positip, artinya makin tinggi upah makin banyak waktu yang dialokasikan untuk mencari nafkah. Akan tetapi di desa yang bercirikan pedesaan, semakin tinggi upah semakin sedikit waktu untuk mencari nafkah. Disebutkan pula, di Cikarawang, upah suami berpengaruh negatif terhadap alokasi waktu isteri untuk mencari nafkah, demikian juga sebaliknya, semakin tinggi upah yang diterima isteri makin sedikit alokasi waktu mencari nafkah yang disediakan suami.
Hal yang berbeda dengan para isteri yang berada di perkampungan nelayan Muara Angke di mana para isteri bekerja dengan motivasi akan aktualisasi diri dan status sosial. Sebagai akibat, alokasi waktu kerja bagi mereka tetap, dan apabila melebihi dari alokasi waktu yang biasa, penyebabnya adalah volume pekerjaan yang harus dipenuhi. Apabila alokasi waktu lebih kecil daripada biasa karena tidak sehatnya kondisi badan, ada pekerjaan lain seperti pesta pernikahan/sunatan, atau menengok orang sakit.
Penghasilan, para ‘wanita pekerja’ di perkampungan nelayan Muara Angke dan desa Babakan serta Cikarawang lebih kecil dari kaum lelaki. Ini berarti masih ada kecenderungan diskriminasi kerja ditilik dari sisi seksual. Namun demikian, adanya perbedaan upah/penghasilan ini tidak menyebabkan para wanita ini menarik diri dari pasar tenaga kerja.
Di lingkungan dua desa pertanian, peran wanita tampak dalam bentuk yang biasa yakni bermasyarakat sebagaimana pada umumnya, sedangkan di perkampungan nelayan Muara Angke, bentuknya lebih beragam. Misalnya mereka mengikuti kegiatan-kegiatan pengembangan keterampilan pengolahan ikan melalui pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Dinas Perikanan, menjalani studi banding ke daerah lain. Sedangkan kegiatan lain selain kegiatan keagamaan dan Posyandu mereka tidak ikuti.

F. Penutup
Pembagian kerja secara seksual, berdasarkan uraian di atas, yang mengungkap teori tentang alasan wanita bekerja yang dilandasi peran rangkap tiga wanita serta hasil dua buah penelitian dari Suprihatin dan Farida, sampai saat ini masih tetap berlangsung. Ini berarti filosofi UU No. 7 dan ratifikasi Konvensi Anti segala bentuk Diskriminasi belum banyak dipahami kalangan pengusaha ataupun pekerja (dalam segi upah), utamanya di sektor pertanian.
Sebaliknya di kalangan pekerja sendiri pembagian kerja secara seksual dalam hal pekerjaan rumah tangga yang sesungguhnya merupakan kewajiban isteri lebih banyak dipahami oleh suami. Suami-isteri dalam hal ini bersikap luwes dan fleksibel dalam arti mereka tidak secara tegas mengatur siapa yang harus mengerjakan pekerjaan tertentu. Mereka bekerja sama sehingga beban pekerjaan rumah tangga dapat tertanggulangi bersama sekalipun keduanya harus bekerja.
Oleh sebab itu diperlukan kebijakan untuk menghapus kemiskinan dengan mengupayakan lahirnya kebijakan yang mengarah pada peningkatan status kaum wanita, yang lebih fokus pada kesempatan pendidikan dan lapangan kerja serta sejalan dengan upaya peningkatan produktivitas dan pendapatan kaum wanita.
Ada tiga paradigma dan dapat menjadi landasan yang mengarah pada keinginan di atas yang bersifat strategis. Pertama. Struktur usaha tani dan pola penggunaan lahan harus disesuaikan dengan tujuan ganda, yaitu peningkatan produksi pangan dan lebih memeratakan manfaat dari kemajuan keagrariaan. Tahap pertama untuk mencapainya adalah pemberian dan perbaikan hak penggunaan lahan pada petani perorangan. Ini berarti diperlukan redistribusi lahan pertanian. Bila tahap ini tercapai maka lapangan kerja meningkat di pedesaan dan merangsang peningkatan produksi pertanian dan pengolahan sumberdaya yang lebih efisien. Akibat lebih jauh lagi, bila tahap ini terlaksana dengan baik adalah hilangnya fenomena wanita dan kemiskinan di lingkungan pertanian. Kedua. Diperlukan sebuah sistem yang mengarah pada dukungan pemerintah terhadap kesempatan-kesempatan ekonomi bagi kalangan petani kecil dalam bentuk kemudahan memperoleh input yang memungkinkan para petani kecil meningkatkan output dan produktivitasnya. Ketiga. Memperbesar kapasitas sektor pedesaan untuk menopang dan memperbesar langkah-langkah perbaikan secara kontinyu dengan memperbesar manfaat kelembagaan yang menopang perkembangan pedesaan. Apabila ketiga paradigma ini dilakukan maka dipastikan terjadi distribusi pendapatan akan sampai ke pedesaan, dan akan menempatkan status wanita bekerja di sektor pertanian baik dalam keluarga/masyarakat menjadi lebih baik lagi.

Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 1990. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2001. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Chiplin, Brian and Sloane, P.J. 1974. Sexual Discrimination in the Labour Market. British Journal of Industrial Relations, Vol. XII No. 3.

McConnel, Campbel R & Brue, Stanley L. 1995. Contemporary Labor Economics, McGraw-Hill, Inc.

Farida, L. 1999. Kontribusi Wanita Bekerja Terhadap Pengembangan Komunitas. Tesis S2 Universitas Indonesia, Jakarta.

Ihromi, T.O. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Ollenburger, Jane C. 1994. Sosiologi. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Moser, Caroline O. N. 1992. Gender Palnning in The Third World: Meeting Practical and Strategic Gender Needs, Publishing Company.

Munandar, U. 1985. Emansipasi dan Peran Gender Wanita Indonesia. UI Press, Jakarta.

Sajogyo, P. 1976. Peranan Wanita Dalam Keluarga, Rumah Tangga dan Masyarakat yang Lebih Luas di Pedesaan Jawa, Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Jakarta.

Suprihatin. 1986. Alokasi Waktu Keluarga di Pedesaan dan Desa Kota: Kasusdi Dua Desa Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor Jawa Barat, Tesis S2 Institut Pertanian Bogor, Bogor.


Pembahasan
Utilitolrianis:
Wanita cenderung hanya peran sebagai ibu rumah tangga dengan membatasi diri dalam pengabdian hanya kepada suami dan anak-anaknya , hal ini dilihat dari rendahnya tingkat pendidikan wanita di negara berkembang akbat budaya norma masyarakat yang menghalangi keluarga menginvestasi sumberdaya keluarga dan banyak pandangan orang menganggap bahwa wanita ridak perlu pendidikan yang tinggi untuk menunaikan tugasnya.
Bahwa Wanita hanya sambilan bekerja sedangka kaum pria adalah pencari nafkah kelurga

Deontologis:
Adanya pengakuan terhadap penilaian ekonomi ada dibayar bahkan tidak dibayar disislain dapat kita lihat kaum wanita bersama-sama dengan pria berperan sama dalam sumbangan bagi pembangunan namun akibat adanya pembagian kerja secara seksual maka diasumsikan mengapa upah pekerja wanita lebih rendah dibandingkan pria dengan asumsi sbb:
1. Pria diasumsikan sebagai kepala keluarga maka ada berbagai tunjangan yang diterima
2. Wanita diasumsikan sebagai anggota keluarga
Hal ini bukan saja dilihat menurut pandangan atribut maskulinitas maupun feminitas sekedar biologi saja tetapi proses social dan cultural.
· Masih banyak masyarakat Indonesia khususnya diderah pedesaan biasanya dalam bentuk kerja pertanian sementara sementara di perkotaan perempuan sering bekerja di sector informal yang berlokasi di sekitar tempat tinggal mereka. Sedangkan di Afrika kaum wanita

Kaffah:
Wanita dengan adanya UU no.7 di Indonesia tidak adanya deskriminasi wanita akibat perubahan social masyarakat budaya lama mulai ditinggalkan dalam era globalisasi terutama dunia kerja dapat ditemui dikelompok cendikiawan, kelompok keagamaan, kelompok pekerja, kelompok LSM dan para pelaku ekonomi.
Contoh di negara Afrika ataupun Asia bahwa wanita menerima beban berat kerja. Beban tersebut adalah: mempersiapkan makanan dan menjaga anaka-anak dan sebagai pekerja dilakukan sendiri.
Sebagai bentuk aktualisasi dalam pengembangan diri yang berdampak positif yang perlu diingat bahwa wanita bukan sekedar hanya reproduksi (melahirkan anak), tetapi wanita berproduktif dalam mencari penghasilan kedua masyarakat dan wanita memiliki hak yang sama dengan pria dan terdorong untuk menambah kebutuhan hidup.

Analisi Swot
· Kelemahan.
Sedikit sekali terdorong “wanita bekerja” kecuali mereka terdorong dengan berbagai factor misalnya dan seringkali terjadi deskriminasi wanita

· Kekuatan.
Wanita lebih banyak bekerja dibandingkan pria yaitu mengurus anak, menyiapkan makan, melahirkan, bermasyarakat, pengambilan sikap di alokasi rumah Kenyataan dilapangan mengatakan bahwa pekerja wanita lebih kluwes dan fleksibel berkaitan dengan pembagian kerja, karena peran ganda di urus oleh ‘wanita pekerja” di perkampungan Muara Angke. Hal ini dari pengakuan seorang suaminya lebih dahulu. (menurut penelitian Farida dan Suprihatin)

· Peluang.
Peluangnya “wanita pekerja” antara lain:
- Untuk menambahkan penghasilan
- Tidak tergantung kepada suami secara ekonomis
- Menghindari rasa kebosanan atau mengisi waktu luang
- Karena kegagala perkawinan
- Untuk memperoleh status
- Untuk pengembangan diri

· Kendala
Bahwa Filosofi UU no.7 dan ratifikasi konvensi anti segala bentuk deskriminasi belum banya dipahami baik pengusaha ataupun pekerja (dalam segi upah) terutama sector pertanian. Dengan asumsi bahwa dari uraian di atas bahwa wanita bekerja dilandasi dengan peran rangkap/ ganda dalam keluarga.

Kesimpulan dan Saran.
Perlu adanya kebijakan untuk menghapuskan kemiskinan dengan meupayakan kebijakan mengarah status wanita yang lebih difokuskan pada kesempatan pendidikan dan lapangan kerja dengan upaya peningkatan kaum wanita.
Sebaiknya suami dan istri dalam bersikap luwes dan fleksiber dalam mengatur dan bekerjasama dalam mengatur rumah tangga sekalipun keduanya bekerja untuk mencapat tujuan yang disepakati bersama demi keluarga dan menjadi keluarga Shakinah, Mawaddah, Warocmah. Amin.